As a fan of a football team,
musim 2013/2014 menjadi salah satu musim terburuk bagi saya sebagai penggemar
setia A.C Milan sepanjang hidup saya. Saat tulisan ini ditulis memang A.C Milan
masih menyisakan 5 pertandingan lagi untuk bisa lolos setidaknya ke kompetisi
Liga Eropa, sebuah kompetisi “kelas dua” antar tim-tim di setiap liga eropa
dengan perwakilannya.
Tulisan ini bukan tentang Milan,
bukan tentang Liga Eropa, tulisan ini dibuat karena sebuah pertanyaan muncul,
kenapa saya bisa begitu kecewa dengan sebuah hal yang pada sebenarnya tidak
terlalu berpengaruh dalam kehidupan saya ? A.C Milan juara saya senang, tapi
apakah berpengaruh banyak pada kehidupan saya ? Saya akui, tidak jawabannya.
Sebaliknya saat A.C Milan menjadi Juara Liga Champions pada tahun 2002-03,
2006-07 saya ingat sekali ditengah keheningan malam saya melakukan ritual sujud
syukur di depan televisi di ruang keluarga rumah saya, saya masih bisa
merasakan tangis bahagia saya pada waktu itu, sebuah momen yang sangat spesial
buat saya, 2002-03 kami juara setelah menaklukan Juventus yang bermain baik
sepanjang kompetisi dan 2006-07 kami menang dengan membalaskan dendam kami
kepada Liverpool setelah final yang menyakitkan pada 2004-05 dimana Milan harus
takluk dalam adu penalti melawan Liverpool setelah memimpin 3-0 pada babak
pertama.
 |
2007 - Athens |
Poin pentingnya adalah, kenapa
saya menggunakan kata “kami” setiap saya bercerita tentang Milan, padahal saya
sendiri tidak bermain bahkan tidak menjadi bagian manajemen dari A.C Milan, why
? Kenapa saya melakukan ritual sujud syukur, sebuah gerakan yang hanya
ditujukan kepada Tuhan saya sebagai muslim ? Kenapa para pria rela bertengkar
hanya karena berbeda kesukaan pada sebuah klub sepakbola ? Kenapa para pria
rela habiskan duitnya hanya untuk yang berbau sepakbola ? Kenapa Pria rela
mentelantarkan wanitanya hanya untuk nonton bareng bersama fans sepakbola
lainnya ? Kenapa pria bisa menjadi setia (monogami) saat dia mencintai satu
klub sepakbola, berbeda dengan di kehidupan nyata dimana pria seringkali tebar
pesona pada setiap wanita yang ia temui ?
Tanyakan pada setiap wanita
betapa bencinya mereka saat diduakan oleh sepakbola dan mereka akan menjawab
dengan pertanyaan yang sama, “ Kenapa sepakbola ? “ sebuah pertanyaan tanda
kebingungan yang jawabannya sendiri mereka tidak tahu.
Jawabannya bisa jadi :
- Pria menonton bola untuk hiburan
- Pria menonton bola untuk memenuhi kebutuhan psikologis
With all my respect, I’m going to
answer all those questions, scientifically....
Sebuah disertasi pada tahun 1997
oleh Dr. Jeffrey James menjelaskan proses anak-anak menjadi fans sebuah olah
raga. Kebanyakan dari anak-anak mulai memilih olah raga yang dia cintainya saat
umur 8-9 tahun, dimana mereka sudah bisa merasakan sesuatu dengan emosional.
Biasanya pada awalnya anak-anak akan lebih tertarik pada jenis olah raganya
lalu tim olah raganya dan diakhiri oleh mengidolakan seorang atlit. Proses ini
terjadi karena lingkungan khususnya keluarga, seorang anak juga bisa saja
mencintai olah raga karena kondisi sosial lingkungannya mengharuskan dia
memainkan olah raga tersebut untuk menjalin hubungan dengan teman-temannya dan
juga ayahnya. Negeri paman sam dengan Basket dan American Footballnya dan
Brazil dengan sepakbola indahnya.
Football is a means of male
bonding. Ikatan yang kuat antara laki-laki dengan laki-laki kadang bisa muncul
hanya karena mereka memiliki kesukaan pada klub sepakbola yang sama. Sepakbola
juga bisa jadi menjembatani kebutuhan sosial para pria, lihat bagaimana para
pria berbicara dalam grup bersama teman-temannya dengan semangat, sama seperti
saat mereka membicarakan besar-kecilnya dada seorang wanita. Sekarang coba kita
bayangkan jika para pria ini berteman layaknya wanita dengan sahabat wanitanya,
aneh dan menjijikan bukan ? Hal ini juga terjadi pada social smokers dimana
mereka merokok bersamaan berbicara hal-hal yang tidak perlu, mereka juga tahu
bahwa merokok tidak sehat bagi mereka tapi jika kita cermati ternyata yang
dipenuhi adalah kebutuhan sosialnya.
Bagaimana dengan fans karbitan ?
sebuah istilah yang ditujukan kepada fans sepakbola yang sekedar ikut-ikutan
saja atau biasa disebut glory hunter, biasanya fans-fans ini baru muncul
mendukung pada tim yang sedang bermain bagus saja, tanpa paham betul apa arti
sepakbola. Apakah salah ? saya rasa tidak dan semua klub sepakbola pun tahu
bahwa fans karbitan bisa di-monetizing, coba lihat bagaimana F.C Barcelona dan
Manchester City mendapatkan fans baru yang banyak dalam jangka waktu 5 tahun
terakhir, begitu juga saat Chelsea dibeli Roman Abramovich dan menjadi Juara
Liga Primer Inggris setelah puluhan tahun menunggu. Fans karbitan adalah
keuntungan yang besar bagi setiap tim sepakbola.
Kenapa ada glory hunter ? secara
ilmiah fenomena ini disebut BIRG atau Basking in Reflected Glory (
http://www.people.vcu.edu/~jldavis/readings/Cialdini%20et%20al%201976%20birg.pdf
) . Dimana disaat tim yang kita sukai bermain baik dan menang, seorang fan akan
merasakan kebahagiaan dan merasa hebat dan keesokan harinya para fans dari tim
yang menang akan dengan bangganya menggunakan jersey dari tim kesayangan mereka
untuk ditunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia adalah bagian dari tim
kesayangnnya tersebut. Bahkan ada sebuah penelitian yang mengatakan seorang
pecinta sepakbola mood-nya akan membaik ketika timnya menang. Sebaliknya ada
fenomena disebut CORF atau Cut Off Reflected Failure, ya setelah kalah dibantai
beberapa fans akan mencari pembenaran. Nyebelin kan ? ya ini natural.
Pada olahraga Pemenang hanyalah 1
, Juara 2 adalah pecundang terbesar. Bagaimana dengan para fans yang tetap
mencintai klub medioker dan klub-klub kecil ? Bagaimana fans Arsenal bisa tahan
dengan 7 tahun tanpa gelar ? Kenapa beberapa Juventini tetap setia walau sempat
bermain di serie B ? Kenapa bobotoh persib tetap cinta mati dengan maung
bandung saat mereka terancam degradasi ?
Saat West Ham tertinggal 6-0 dari
Manchester City fansnya menyanyikan yel-yel yang berbunyi “ LET’S PRETEND WE
SCORED A GOAL ! “ , bernada menjelek-jelekkan diri sendiri, West Ham dengan
pendukungnya yang sangat fanatik. Kenapa ini bisa terjadi ? Masochist ! (
Masochism ). Hidup untuk menderita. Well, akui sajalah memang beberapa orang
sangat suka untuk disakiti atau diejek-ejek. Bahasa simpelnya beberapa orang
memang suka untuk galau dan merasa bersedih, beberapa orang menemukan kepuasan
tersendiri saat mereka bersedih. Menariknya dalam sepakbola sedih, galau dan
tersiksanya mereka saat timnya tidak juara atau kalah dengan mengenaskan itu
tidak akan berpengaruh banyak kepadanya, toh setelah timnya kalah kehidupannya
tetap begitu saja dan karirnya pun tidak terpengaruh. Sebuah cara yang aman
untuk bersedih dan menghilangkan kebosanan akan hidup yang terlalu datar. Bisa
survive dari rasa sakit dan sedih itu menjadi pencapaian hebat bagi beberapa
pribadi.
Tidak setuju ? Memang tidak
semuanya....
Pada intinya sepakbola memberikan
harapan tanpa harus menanggung risiko bila harapannya tersebut tidak tercapai.
Pernah dengar beberapa fans klub bola berteriak “ Next year is our year !! “
walau timnya sedang terpuruk mereka tetap berteriak dengan penuh harapan bahwa
timnya bisa juara di musim depan, beberapa diantara mereka bertahan lebih dari
5 tahun dengan meneriakkan kata yang sama tiap tahunnya. Saat timnya kalah dan
tidak menjadi juara, siapa yang bertanggung jawab ? bukan fans, tapi manager
dan pemainlah yang dipecat. Ya, sepakbola menawarkan kekuasaan tanpa tanggung
jawab tersendiri bagi beberapa orang, saat menang para fans merasa mereka turut
serta membantu timnya juara dan saat kalah mereka menyalahkan pelatih dan para
pemain. Pria terlalu banyak dibebani tanggung jawab dalam hidupnya, kapan lagi
mereka bisa menggantungkan harapan dan bila gagal tidak harus menanggung risiko
?
Para pria mungkin sudah jenuh
dengan rutinitasnya memenuhi tanggung jawab kehidupannya sebagai pria dewasa
dan beberapa penelitian membuktikan bahwa menonton sepakbola menjadi pelarian
terbaik untuk mereka apalagi bila dilakukan bersama-sama dengan temannya,
secara tidak sadar para pria menikmati waktu-waktunya seperti saat mereka masih
anak-anak/remaja, bercanda tawa tanpa beban, melepaskan semuanya pada 90 menit
pertandingan.
Sepakbola juga bisa menjadi
pelarian para pria dari wanitanya, kami para pria tahu bahwa sangat sedikit
wanita yang suka sepak bola, menikmati beberapa menit tanpa interupsi dari
pasangannya karena setiap pria membutuhkan waktu khusus. Pria tetap bisa menjadi
pria seperti aslinya yang sering bertindak bodoh tanpa logika saat menjadi fans
sepak bola.
Jadi pilih mana ? Pria yang
mencari pelarian ke wanita lain atau sepak bola...
Tunggu postingan saya berikutnya
masih seputar men’s behavior terhadap sepak bola, riset kualitatif dulu yaa....
Ini rekomendasi dari saya sebuah film yang sangat menarik yang menggambarkan kehidupan fans sepak bola. ( Lumayan looh buat yang lagi tes IELTS atau TOEFL sekalian latihan listening akses british )