Monday, April 14, 2014

Sepak Bola dan Pria : Cinta, Harapan, Agama, Kebersamaan, Depresi, Kesedihan dan Kegilaan. (1)

As a fan of a football team, musim 2013/2014 menjadi salah satu musim terburuk bagi saya sebagai penggemar setia A.C Milan sepanjang hidup saya. Saat tulisan ini ditulis memang A.C Milan masih menyisakan 5 pertandingan lagi untuk bisa lolos setidaknya ke kompetisi Liga Eropa, sebuah kompetisi “kelas dua” antar tim-tim di setiap liga eropa dengan perwakilannya.

Tulisan ini bukan tentang Milan, bukan tentang Liga Eropa, tulisan ini dibuat karena sebuah pertanyaan muncul, kenapa saya bisa begitu kecewa dengan sebuah hal yang pada sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan saya ? A.C Milan juara saya senang, tapi apakah berpengaruh banyak pada kehidupan saya ? Saya akui, tidak jawabannya. Sebaliknya saat A.C Milan menjadi Juara Liga Champions pada tahun 2002-03, 2006-07 saya ingat sekali ditengah keheningan malam saya melakukan ritual sujud syukur di depan televisi di ruang keluarga rumah saya, saya masih bisa merasakan tangis bahagia saya pada waktu itu, sebuah momen yang sangat spesial buat saya, 2002-03 kami juara setelah menaklukan Juventus yang bermain baik sepanjang kompetisi dan 2006-07 kami menang dengan membalaskan dendam kami kepada Liverpool setelah final yang menyakitkan pada 2004-05 dimana Milan harus takluk dalam adu penalti melawan Liverpool setelah memimpin 3-0 pada babak pertama.

2007 - Athens

Poin pentingnya adalah, kenapa saya menggunakan kata “kami” setiap saya bercerita tentang Milan, padahal saya sendiri tidak bermain bahkan tidak menjadi bagian manajemen dari A.C Milan, why ? Kenapa saya melakukan ritual sujud syukur, sebuah gerakan yang hanya ditujukan kepada Tuhan saya sebagai muslim ? Kenapa para pria rela bertengkar hanya karena berbeda kesukaan pada sebuah klub sepakbola ? Kenapa para pria rela habiskan duitnya hanya untuk yang berbau sepakbola ? Kenapa Pria rela mentelantarkan wanitanya hanya untuk nonton bareng bersama fans sepakbola lainnya ? Kenapa pria bisa menjadi setia (monogami) saat dia mencintai satu klub sepakbola, berbeda dengan di kehidupan nyata dimana pria seringkali tebar pesona pada setiap wanita yang ia temui ?


Tanyakan pada setiap wanita betapa bencinya mereka saat diduakan oleh sepakbola dan mereka akan menjawab dengan pertanyaan yang sama, “ Kenapa sepakbola ? “ sebuah pertanyaan tanda kebingungan yang jawabannya sendiri mereka tidak tahu.

Jawabannya bisa jadi :

  1. Pria menonton bola untuk hiburan
  2. Pria menonton bola untuk memenuhi kebutuhan psikologis
With all my respect, I’m going to answer all those questions, scientifically....

Sebuah disertasi pada tahun 1997 oleh Dr. Jeffrey James menjelaskan proses anak-anak menjadi fans sebuah olah raga. Kebanyakan dari anak-anak mulai memilih olah raga yang dia cintainya saat umur 8-9 tahun, dimana mereka sudah bisa merasakan sesuatu dengan emosional. Biasanya pada awalnya anak-anak akan lebih tertarik pada jenis olah raganya lalu tim olah raganya dan diakhiri oleh mengidolakan seorang atlit. Proses ini terjadi karena lingkungan khususnya keluarga, seorang anak juga bisa saja mencintai olah raga karena kondisi sosial lingkungannya mengharuskan dia memainkan olah raga tersebut untuk menjalin hubungan dengan teman-temannya dan juga ayahnya. Negeri paman sam dengan Basket dan American Footballnya dan Brazil dengan sepakbola indahnya.

Football is a means of male bonding. Ikatan yang kuat antara laki-laki dengan laki-laki kadang bisa muncul hanya karena mereka memiliki kesukaan pada klub sepakbola yang sama. Sepakbola juga bisa jadi menjembatani kebutuhan sosial para pria, lihat bagaimana para pria berbicara dalam grup bersama teman-temannya dengan semangat, sama seperti saat mereka membicarakan besar-kecilnya dada seorang wanita. Sekarang coba kita bayangkan jika para pria ini berteman layaknya wanita dengan sahabat wanitanya, aneh dan menjijikan bukan ? Hal ini juga terjadi pada social smokers dimana mereka merokok bersamaan berbicara hal-hal yang tidak perlu, mereka juga tahu bahwa merokok tidak sehat bagi mereka tapi jika kita cermati ternyata yang dipenuhi adalah kebutuhan sosialnya.

Bagaimana dengan fans karbitan ? sebuah istilah yang ditujukan kepada fans sepakbola yang sekedar ikut-ikutan saja atau biasa disebut glory hunter, biasanya fans-fans ini baru muncul mendukung pada tim yang sedang bermain bagus saja, tanpa paham betul apa arti sepakbola. Apakah salah ? saya rasa tidak dan semua klub sepakbola pun tahu bahwa fans karbitan bisa di-monetizing, coba lihat bagaimana F.C Barcelona dan Manchester City mendapatkan fans baru yang banyak dalam jangka waktu 5 tahun terakhir, begitu juga saat Chelsea dibeli Roman Abramovich dan menjadi Juara Liga Primer Inggris setelah puluhan tahun menunggu. Fans karbitan adalah keuntungan yang besar bagi setiap tim sepakbola.


Kenapa ada glory hunter ? secara ilmiah fenomena ini disebut BIRG atau Basking in Reflected Glory (http://www.people.vcu.edu/~jldavis/readings/Cialdini%20et%20al%201976%20birg.pdf ) . Dimana disaat tim yang kita sukai bermain baik dan menang, seorang fan akan merasakan kebahagiaan dan merasa hebat dan keesokan harinya para fans dari tim yang menang akan dengan bangganya menggunakan jersey dari tim kesayangan mereka untuk ditunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia adalah bagian dari tim kesayangnnya tersebut. Bahkan ada sebuah penelitian yang mengatakan seorang pecinta sepakbola mood-nya akan membaik ketika timnya menang. Sebaliknya ada fenomena disebut CORF atau Cut Off Reflected Failure, ya setelah kalah dibantai beberapa fans akan mencari pembenaran. Nyebelin kan ? ya ini natural.

Pada olahraga Pemenang hanyalah 1 , Juara 2 adalah pecundang terbesar. Bagaimana dengan para fans yang tetap mencintai klub medioker dan klub-klub kecil ? Bagaimana fans Arsenal bisa tahan dengan 7 tahun tanpa gelar ? Kenapa beberapa Juventini tetap setia walau sempat bermain di serie B ? Kenapa bobotoh persib tetap cinta mati dengan maung bandung saat mereka terancam degradasi ?

Saat West Ham tertinggal 6-0 dari Manchester City fansnya menyanyikan yel-yel yang berbunyi “ LET’S PRETEND WE SCORED A GOAL ! “ , bernada menjelek-jelekkan diri sendiri, West Ham dengan pendukungnya yang sangat fanatik. Kenapa ini bisa terjadi ? Masochist ! ( Masochism ). Hidup untuk menderita. Well, akui sajalah memang beberapa orang sangat suka untuk disakiti atau diejek-ejek. Bahasa simpelnya beberapa orang memang suka untuk galau dan merasa bersedih, beberapa orang menemukan kepuasan tersendiri saat mereka bersedih. Menariknya dalam sepakbola sedih, galau dan tersiksanya mereka saat timnya tidak juara atau kalah dengan mengenaskan itu tidak akan berpengaruh banyak kepadanya, toh setelah timnya kalah kehidupannya tetap begitu saja dan karirnya pun tidak terpengaruh. Sebuah cara yang aman untuk bersedih dan menghilangkan kebosanan akan hidup yang terlalu datar. Bisa survive dari rasa sakit dan sedih itu menjadi pencapaian hebat bagi beberapa pribadi.

Tidak setuju ? Memang tidak semuanya....

Pada intinya sepakbola memberikan harapan tanpa harus menanggung risiko bila harapannya tersebut tidak tercapai. Pernah dengar beberapa fans klub bola berteriak “ Next year is our year !! “ walau timnya sedang terpuruk mereka tetap berteriak dengan penuh harapan bahwa timnya bisa juara di musim depan, beberapa diantara mereka bertahan lebih dari 5 tahun dengan meneriakkan kata yang sama tiap tahunnya. Saat timnya kalah dan tidak menjadi juara, siapa yang bertanggung jawab ? bukan fans, tapi manager dan pemainlah yang dipecat. Ya, sepakbola menawarkan kekuasaan tanpa tanggung jawab tersendiri bagi beberapa orang, saat menang para fans merasa mereka turut serta membantu timnya juara dan saat kalah mereka menyalahkan pelatih dan para pemain. Pria terlalu banyak dibebani tanggung jawab dalam hidupnya, kapan lagi mereka bisa menggantungkan harapan dan bila gagal tidak harus menanggung risiko ?

Para pria mungkin sudah jenuh dengan rutinitasnya memenuhi tanggung jawab kehidupannya sebagai pria dewasa dan beberapa penelitian membuktikan bahwa menonton sepakbola menjadi pelarian terbaik untuk mereka apalagi bila dilakukan bersama-sama dengan temannya, secara tidak sadar para pria menikmati waktu-waktunya seperti saat mereka masih anak-anak/remaja, bercanda tawa tanpa beban, melepaskan semuanya pada 90 menit pertandingan.



Sepakbola juga bisa menjadi pelarian para pria dari wanitanya, kami para pria tahu bahwa sangat sedikit wanita yang suka sepak bola, menikmati beberapa menit tanpa interupsi dari pasangannya karena setiap pria membutuhkan waktu khusus. Pria tetap bisa menjadi pria seperti aslinya yang sering bertindak bodoh tanpa logika saat menjadi fans sepak bola.

Jadi pilih mana ? Pria yang mencari pelarian ke wanita lain atau sepak bola...


Tunggu postingan saya berikutnya masih seputar men’s behavior terhadap sepak bola, riset kualitatif dulu yaa....

Ini rekomendasi dari saya sebuah film yang sangat menarik yang menggambarkan kehidupan fans sepak bola. ( Lumayan looh buat yang lagi tes IELTS atau TOEFL sekalian latihan listening akses british )

No comments:

Post a Comment