31 Desember 2006, tepat pada hari
ulang tahun ke-17, satu keputusan kecil telah diambil, keputusan untuk berjuang
merubah hidup untuk lebih baik. Keputusan kecil untuk berjuang menggapai cita
melanjutkan studi di kampus impian banyak orang pada saat itu , yaitu Institut
Teknologi Bandung.
Sempat dicemooh banyak teman karena
mimpi yang seakan mustahil membuat saya sempat merasa rendah diri. Namun
besarnya impian untuk bisa belajar bersama para juara membuat saya belajar untuk bisa “tuli” terhadap
cemoohan orang lain, pada waktu itu hanya tersisa 4 bulan lagi untuk ujian
saringan masuk ITB, saya sadar yang saya bisa lakukan adalah berjuang, berjuang, berjuang, dan berdoa.
Mei 2007, sebuah keajaiban dari
sebuah perjuangan membuahkan hasil, akhirnya kesempatan untuk melanjutkan studi
di kampus impian pun tercapai. Disini saya belajar tentang pentingnya harapan,
karena HARAPAN lah yang membuat manusia terus bergerak dan melakukan sesuatu untuk mencapai
cita-citanya.
Semangat belajar saya semenjak masuk
ITB meningkat dibandingkan sewaktu saya SMA, namun bukan berarti perjalanan
studi saya di ITB tanpa perjuangan. Tahun pertama saya lalui penuh perjuangan, pada
saat itu untuk memahami isi kuliah tidaklah mudah bagi saya, apalagi semua
materi diberikan dalam format bahasa inggris. Kesulitan tidak membuat saya
menyerah, saya belajar dengan sangat giat sehingga IPK saya ditahun pertama
mencapai 3,56.
Pertengahan tahun 2009, bisnis yang
saya jalankan bersama rekan saya membuat saya terlilit utang puluhan juta
rupiah, terpaksa untuk menutup utang bisnis dipakailah uang biaya kuliah selama
2 semester. Pahit dan malu rasanya bahwa saya harus menerima kenyataan bahwa
saya tidak akan diwisuda bersama-sama teman saya.
Saya pun memutuskan untuk menjadi
tenaga paruh waktu sebagai penjual disebuah perusahaan kesehatan tanpa berbekal
pengalaman hanya bermodalkan HARAPAN untuk bisa membayar utang dan segera
melanjutkan studi saya di ITB. Menjalani profesi sebagai sales pada siang-malam hari dan menjadi mahasiswa di pagi hari
bukanlah pekerjaan mudah, dicemooh teman karena saya harus selalu berpakaian
rapih seperti salesman pada umumnya
sudah menjadi hal yang biasa, terlebih waktu itu saya harus mengirit
pengeluaran supaya dapat membayar tunggakan uang kuliah sebesar 12,5 juta
rupiah per semester yang berarti harus bisa menabung sebesar 25 juta rupiah
kurang dari 1 tahun, sungguh berat untuk seorang mahasiswa dan tenaga penjual. Desember
2010, dengan kegigihan dan doa saya berhasil melewati tantangan tersebut, saya
pun mulai kembali fokus untuk menyelesaikan studi saya, disamping itu
pengalaman dan hasil 1 tahun menjadi tenaga penjual membuat saya belajar
tentang berkomunikasi dan kepemimpinan.
Mengejar ketertinggalan studi mengharuskan saya mengambil kelas bersama adik
kelas. Menjadi seorang yang harus mengambil kelas bersama adik kelasnya
tidaklah mudah, stigma negatif tentang orang yang terlambat lulus kuliahnya
sangatlah melekat erat pada mahasiswa ITB. Hal ini membuat saya harus berjuang
sendiri selama 2,5 tahun untuk menyelesaikan studi saya, tidak ada lagi
mahasiswa pintar yang bisa saya curi ilmunya.
Juni 2011, saya meninggalkan profesi
tenaga penjual dan menjadi wirausahawan seutuhnya. Memimpin usaha dengan 10
karyawan pada saat itu sembari menamatkan studi memberi banyak pelajaran khususnya,
tentang manajemen waktu.
26 Mei 2013, sidang sarjana saya di
ITB, satu hari yang sangat sulit saya lupakan, tidak ada teman yang hadir
maupun keluarga, pada saat itu saudara kembar saya sudah bersiap untuk
berangkat kuliah ke negeri Belanda membuat tekanan pada diri saya menjadi lebih
besar. Begitu besar tekanan saya untuk mendapat nilai A, karena nilai A
tersebut yang dapat menjadi penyelamat saya untuk bisa mencapai IPK yang ideal untuk
mendapatkan beasiswa perihal melanjutkan studi S2 saya dikemudian hari (jika
Tuhan mengizinkan).
Berlian tidak dapat dibentuk tanpa tekanan yang besar, kalimat itu yang selalu saya ingat
sebelum sidang, alhasil saya presentasikan hasil penelitian saya dengan percaya
diri. Alhasil saya dapat mencapai target IPK ideal saya, tidak menjadi seorang
cum laude, namun jika melihat kembali perjalanan studi S1 saya, sungguh
sangatlah indah dan sulit untuk dipercaya.
Sungguh sebuah perjuangan studi S1
selama 6 tahun yang menarik dan penuh petualangan yang akan selalu dikenang,
kisah yang selalu diceritakan saat saya diundang sebagai pembicara. Berharap
cerita ini menjadi inspirasi bagi mereka yang merasa hilang harapan untuk
sukses dan bagi saya untuk selalu diingatkan bahwa selalu ada harga yang harus
dibayar untuk meraih kesuksesan, salah satunya adalah dengan berdedikasi pada
karir yang kita jalani.
No comments:
Post a Comment