Thursday, June 12, 2014

Peranku Untuk Indonesia ( Essay LPDP )

Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) di Indonesia berjumlah 56.534.592 unit, menyerap 107.657.509 tenaga kerja (97,16%) dan memiliki porsi sebesar  59,08% sebagai penyumbang produk domestik bruto (PDB). Data dari kementrian Koperasi dan UKM secara nyata menunjukkan bahwa UMKM sangatlah berpengaruh besar pada ekonomi Indonesia. Namun tidak banyak UMKM yang dapat bertahan lebih dari 5 tahun dan memiliki produk yang kurang inovatif  sehingga banyak sekali investor baik dalam bentuk bank, perusahaan modal ventura dan personal enggan menginvestasikan dana mereka di UMKM Indonesia.

3 tahun sebagai pelaku usaha skala kecil dan aktif pada komunitas pelaku UMKM selama 2,5 tahun saya menemukan untuk membangun usaha  tidaklah sekedar modal nekat. Membangun UMKM butuh ilmu, skill dan pengalaman di bidang manajemen dan bisnis. Di lapangan banyak sekali pelaku UMKM di Indonesia berguguran dalam waktu kurang dari 1 tahun, akar masalahnya adalah kurangnya inovasi dan pengetahuan akan kewirausahaan.  Ironisnya, hanya segelintir orang yang berpengelaman dalam bidang bisnis dan manajemen yang peduli untuk berbagi kepada UMKM, mayoritas lebih memilih untuk fokus untuk pengembangan pada korporasi besar milik asing.

Untuk itu setelah saya menyelesaikan studi magister di University of Warwick dengan spesialisasi pada Innovation and Entrepreneurship dengan ditunjang fasilitas dan pengajar kelas dunia, besar keinginan saya untuk bisa menjadi agen perubahan dunia UMKM di Indonesia yang lebih kompeten dan mempunyai daya saing skala internasional, baik itu sebagai salah satu pelakunya, pendidik, pembina di komunitas maupun dipemerintahan.

Salah satu misi saya adalah dengan menerapkan metode pembelajaran yang praktikal seperti yang saya pelajari kelak di studi magister kepada pelaku UMKM yang tergabung pada komunitas-komunitas pelaku UMKM di Indonesia, dimulai dari Jawa Barat dan Jakarta. Di komunitas UMKM tersebut akan coba diterapkan kurikulum yang terstruktur mulai dari cara memulai usaha yang baik dan bagaimana cara menarik investor sampai bagaimana cara keluar dari usaha dengan benar (exit strategy). Saya juga berencana akan membangun network para pelaku UMKM sukses dari United Kingdom untuk bisa berbagi ilmu kepada pelaku UMKM Indonesia sebagai mentor dan menjalin hubungan baik untuk bisa membuka jalan bagi pelaku UMKM di seluruh penjuru Indonesia memasarkan produknya di luar negeri maupun dalam negeri salah satunya dalam bentuk model bisnis eCommerce.

Selain itu saya juga akan mencoba untuk menjembatani antara penemu produk inovatif baik itu hasil dari penelitian ilmiah maupun karya seni yang bernilai tinggi dengan pelaku UMKM agar bisa meningkatkan nilai tambah industri skala UMKM dengan produk yang excellent.

Hasrat saya juga sangat besar untuk bisa aktif sebagai pendidik pada bidang entrepreneurship baik itu pada institusi pendidikan maupun di komunitas pelaku UMKM. Di Indonesia sendiri baru 1 Institusi yang membuka jurusan dengan tema Kewirausahaan, yaitu di Institut Teknologi Bandung. Dengan bekal ilmu dan jaringan yang saya dapat setelah saya menyelesaikan studi magister di Warwick saya ingin mengembangkan bidang keilmuan ini ke setiap daerah di Indonesia agar institusi pendidikan tersebut bisa menjadi pusat inkubator UMKM yang saya yakin akan sangat berpengaruh positif akan penambahan nilai produk dan ekonomi di daerah tersebut.

Menghadapai ASEAN Economic Community 2015 adalah tantangan yang besar untuk pelaku UMKM di Indonesia, dengan bekal ilmu yang didapat nanti, saya beserta mereka yang peduli akan kemajuan UMKM Indonesia akan membina mereka untuk bisa “naik kelas” dari UMKM yang berstigma usaha gerobakan menjadi UMKM yang kuat yang memiliki produk inovatif , mempunyai nilai tambah dan dapat menghidupi banyak orang disetiap UMKM yang ada.

Saya yakin dengan lebih banyaknya UMKM yang terbina dengan baik akan makin banyak juga orang bahkan keluarga yang dapat dihidupi dari UMKM tersebut. makin banyak yang tingkat kesejahteraannya meningkat, makin banyak juga putra putri bangsa yang bisa meneruskan pendidikannya ke tingkat yang lebih tinggi karena orang tuanya bekerja dan mampu menyekolahkan mereka yang akan sangat berpengaruh positif terhadap kemajuan bangsa Indonesia.


Kesempatan yang tim LPDP berikan kepada saya sangatlah berarti untuk mewujudkan peran saya sebagai agen perubahan, sebagai putra bangsa yang peduli untuk menjadikan UMKM Indonesia yang KUAT, INOVATIF dan BERMANFAAT.

Kesuksesan Terbesar Dalam Hidup Saya ( Essay LPDP )

31 Desember 2006, tepat pada hari ulang tahun ke-17, satu keputusan kecil telah diambil, keputusan untuk berjuang merubah hidup untuk lebih baik. Keputusan kecil untuk berjuang menggapai cita melanjutkan studi di kampus impian banyak orang pada saat itu , yaitu Institut Teknologi Bandung.

Sempat dicemooh banyak teman karena mimpi yang seakan mustahil membuat saya sempat merasa rendah diri. Namun besarnya impian untuk bisa belajar bersama para juara membuat saya belajar untuk bisa “tuli” terhadap cemoohan orang lain, pada waktu itu hanya tersisa 4 bulan lagi untuk ujian saringan masuk ITB, saya sadar yang saya bisa lakukan adalah berjuang, berjuang, berjuang, dan berdoa.

Mei 2007, sebuah keajaiban dari sebuah perjuangan membuahkan hasil, akhirnya kesempatan untuk melanjutkan studi di kampus impian pun tercapai. Disini saya belajar tentang pentingnya harapan, karena HARAPAN lah yang membuat manusia terus bergerak dan melakukan sesuatu untuk mencapai cita-citanya.

Semangat belajar saya semenjak masuk ITB meningkat dibandingkan sewaktu saya SMA, namun bukan berarti perjalanan studi saya di ITB tanpa perjuangan. Tahun pertama saya lalui penuh perjuangan, pada saat itu untuk memahami isi kuliah tidaklah mudah bagi saya, apalagi semua materi diberikan dalam format bahasa inggris. Kesulitan tidak membuat saya menyerah, saya belajar dengan sangat giat sehingga IPK saya ditahun pertama mencapai 3,56.

Pertengahan tahun 2009, bisnis yang saya jalankan bersama rekan saya membuat saya terlilit utang puluhan juta rupiah, terpaksa untuk menutup utang bisnis dipakailah uang biaya kuliah selama 2 semester. Pahit dan malu rasanya bahwa saya harus menerima kenyataan bahwa saya tidak akan diwisuda bersama-sama teman saya.

Saya pun memutuskan untuk menjadi tenaga paruh waktu sebagai penjual disebuah perusahaan kesehatan tanpa berbekal pengalaman hanya bermodalkan HARAPAN  untuk bisa membayar utang dan segera melanjutkan studi saya di ITB. Menjalani profesi sebagai sales pada siang-malam hari dan menjadi mahasiswa di pagi hari bukanlah pekerjaan mudah, dicemooh teman karena saya harus selalu berpakaian rapih seperti salesman pada umumnya sudah menjadi hal yang biasa, terlebih waktu itu saya harus mengirit pengeluaran supaya dapat membayar tunggakan uang kuliah sebesar 12,5 juta rupiah per semester yang berarti harus bisa menabung sebesar 25 juta rupiah kurang dari 1 tahun, sungguh berat untuk seorang mahasiswa dan tenaga penjual. Desember 2010, dengan kegigihan dan doa saya berhasil melewati tantangan tersebut, saya pun mulai kembali fokus untuk menyelesaikan studi saya, disamping itu pengalaman dan hasil 1 tahun menjadi tenaga penjual membuat saya belajar tentang berkomunikasi dan kepemimpinan.

Mengejar ketertinggalan studi  mengharuskan saya mengambil kelas bersama adik kelas. Menjadi seorang yang harus mengambil kelas bersama adik kelasnya tidaklah mudah, stigma negatif tentang orang yang terlambat lulus kuliahnya sangatlah melekat erat pada mahasiswa ITB. Hal ini membuat saya harus berjuang sendiri selama 2,5 tahun untuk menyelesaikan studi saya, tidak ada lagi mahasiswa pintar yang bisa saya curi ilmunya.

Juni 2011, saya meninggalkan profesi tenaga penjual dan menjadi wirausahawan seutuhnya. Memimpin usaha dengan 10 karyawan pada saat itu sembari menamatkan studi memberi banyak pelajaran khususnya, tentang manajemen waktu.

26 Mei 2013, sidang sarjana saya di ITB, satu hari yang sangat sulit saya lupakan, tidak ada teman yang hadir maupun keluarga, pada saat itu saudara kembar saya sudah bersiap untuk berangkat kuliah ke negeri Belanda membuat tekanan pada diri saya menjadi lebih besar. Begitu besar tekanan saya untuk mendapat nilai A, karena nilai A tersebut yang dapat menjadi penyelamat saya untuk bisa mencapai IPK yang ideal untuk mendapatkan beasiswa perihal melanjutkan studi S2 saya dikemudian hari (jika Tuhan mengizinkan).

Berlian tidak dapat dibentuk tanpa tekanan yang besar, kalimat itu yang selalu saya ingat sebelum sidang, alhasil saya presentasikan hasil penelitian saya dengan percaya diri. Alhasil saya dapat mencapai target IPK ideal saya, tidak menjadi seorang cum laude, namun jika melihat kembali perjalanan studi S1 saya, sungguh sangatlah indah dan sulit untuk dipercaya.


Sungguh sebuah perjuangan studi S1 selama 6 tahun yang menarik dan penuh petualangan yang akan selalu dikenang, kisah yang selalu diceritakan saat saya diundang sebagai pembicara. Berharap cerita ini menjadi inspirasi bagi mereka yang merasa hilang harapan untuk sukses dan bagi saya untuk selalu diingatkan bahwa selalu ada harga yang harus dibayar untuk meraih kesuksesan, salah satunya adalah dengan berdedikasi pada karir yang kita jalani. 

Monday, April 14, 2014

Sepak Bola dan Pria : Cinta, Harapan, Agama, Kebersamaan, Depresi, Kesedihan dan Kegilaan. (1)

As a fan of a football team, musim 2013/2014 menjadi salah satu musim terburuk bagi saya sebagai penggemar setia A.C Milan sepanjang hidup saya. Saat tulisan ini ditulis memang A.C Milan masih menyisakan 5 pertandingan lagi untuk bisa lolos setidaknya ke kompetisi Liga Eropa, sebuah kompetisi “kelas dua” antar tim-tim di setiap liga eropa dengan perwakilannya.

Tulisan ini bukan tentang Milan, bukan tentang Liga Eropa, tulisan ini dibuat karena sebuah pertanyaan muncul, kenapa saya bisa begitu kecewa dengan sebuah hal yang pada sebenarnya tidak terlalu berpengaruh dalam kehidupan saya ? A.C Milan juara saya senang, tapi apakah berpengaruh banyak pada kehidupan saya ? Saya akui, tidak jawabannya. Sebaliknya saat A.C Milan menjadi Juara Liga Champions pada tahun 2002-03, 2006-07 saya ingat sekali ditengah keheningan malam saya melakukan ritual sujud syukur di depan televisi di ruang keluarga rumah saya, saya masih bisa merasakan tangis bahagia saya pada waktu itu, sebuah momen yang sangat spesial buat saya, 2002-03 kami juara setelah menaklukan Juventus yang bermain baik sepanjang kompetisi dan 2006-07 kami menang dengan membalaskan dendam kami kepada Liverpool setelah final yang menyakitkan pada 2004-05 dimana Milan harus takluk dalam adu penalti melawan Liverpool setelah memimpin 3-0 pada babak pertama.

2007 - Athens

Poin pentingnya adalah, kenapa saya menggunakan kata “kami” setiap saya bercerita tentang Milan, padahal saya sendiri tidak bermain bahkan tidak menjadi bagian manajemen dari A.C Milan, why ? Kenapa saya melakukan ritual sujud syukur, sebuah gerakan yang hanya ditujukan kepada Tuhan saya sebagai muslim ? Kenapa para pria rela bertengkar hanya karena berbeda kesukaan pada sebuah klub sepakbola ? Kenapa para pria rela habiskan duitnya hanya untuk yang berbau sepakbola ? Kenapa Pria rela mentelantarkan wanitanya hanya untuk nonton bareng bersama fans sepakbola lainnya ? Kenapa pria bisa menjadi setia (monogami) saat dia mencintai satu klub sepakbola, berbeda dengan di kehidupan nyata dimana pria seringkali tebar pesona pada setiap wanita yang ia temui ?


Tanyakan pada setiap wanita betapa bencinya mereka saat diduakan oleh sepakbola dan mereka akan menjawab dengan pertanyaan yang sama, “ Kenapa sepakbola ? “ sebuah pertanyaan tanda kebingungan yang jawabannya sendiri mereka tidak tahu.

Jawabannya bisa jadi :

  1. Pria menonton bola untuk hiburan
  2. Pria menonton bola untuk memenuhi kebutuhan psikologis
With all my respect, I’m going to answer all those questions, scientifically....

Sebuah disertasi pada tahun 1997 oleh Dr. Jeffrey James menjelaskan proses anak-anak menjadi fans sebuah olah raga. Kebanyakan dari anak-anak mulai memilih olah raga yang dia cintainya saat umur 8-9 tahun, dimana mereka sudah bisa merasakan sesuatu dengan emosional. Biasanya pada awalnya anak-anak akan lebih tertarik pada jenis olah raganya lalu tim olah raganya dan diakhiri oleh mengidolakan seorang atlit. Proses ini terjadi karena lingkungan khususnya keluarga, seorang anak juga bisa saja mencintai olah raga karena kondisi sosial lingkungannya mengharuskan dia memainkan olah raga tersebut untuk menjalin hubungan dengan teman-temannya dan juga ayahnya. Negeri paman sam dengan Basket dan American Footballnya dan Brazil dengan sepakbola indahnya.

Football is a means of male bonding. Ikatan yang kuat antara laki-laki dengan laki-laki kadang bisa muncul hanya karena mereka memiliki kesukaan pada klub sepakbola yang sama. Sepakbola juga bisa jadi menjembatani kebutuhan sosial para pria, lihat bagaimana para pria berbicara dalam grup bersama teman-temannya dengan semangat, sama seperti saat mereka membicarakan besar-kecilnya dada seorang wanita. Sekarang coba kita bayangkan jika para pria ini berteman layaknya wanita dengan sahabat wanitanya, aneh dan menjijikan bukan ? Hal ini juga terjadi pada social smokers dimana mereka merokok bersamaan berbicara hal-hal yang tidak perlu, mereka juga tahu bahwa merokok tidak sehat bagi mereka tapi jika kita cermati ternyata yang dipenuhi adalah kebutuhan sosialnya.

Bagaimana dengan fans karbitan ? sebuah istilah yang ditujukan kepada fans sepakbola yang sekedar ikut-ikutan saja atau biasa disebut glory hunter, biasanya fans-fans ini baru muncul mendukung pada tim yang sedang bermain bagus saja, tanpa paham betul apa arti sepakbola. Apakah salah ? saya rasa tidak dan semua klub sepakbola pun tahu bahwa fans karbitan bisa di-monetizing, coba lihat bagaimana F.C Barcelona dan Manchester City mendapatkan fans baru yang banyak dalam jangka waktu 5 tahun terakhir, begitu juga saat Chelsea dibeli Roman Abramovich dan menjadi Juara Liga Primer Inggris setelah puluhan tahun menunggu. Fans karbitan adalah keuntungan yang besar bagi setiap tim sepakbola.


Kenapa ada glory hunter ? secara ilmiah fenomena ini disebut BIRG atau Basking in Reflected Glory (http://www.people.vcu.edu/~jldavis/readings/Cialdini%20et%20al%201976%20birg.pdf ) . Dimana disaat tim yang kita sukai bermain baik dan menang, seorang fan akan merasakan kebahagiaan dan merasa hebat dan keesokan harinya para fans dari tim yang menang akan dengan bangganya menggunakan jersey dari tim kesayangan mereka untuk ditunjukkan kepada teman-temannya bahwa dia adalah bagian dari tim kesayangnnya tersebut. Bahkan ada sebuah penelitian yang mengatakan seorang pecinta sepakbola mood-nya akan membaik ketika timnya menang. Sebaliknya ada fenomena disebut CORF atau Cut Off Reflected Failure, ya setelah kalah dibantai beberapa fans akan mencari pembenaran. Nyebelin kan ? ya ini natural.

Pada olahraga Pemenang hanyalah 1 , Juara 2 adalah pecundang terbesar. Bagaimana dengan para fans yang tetap mencintai klub medioker dan klub-klub kecil ? Bagaimana fans Arsenal bisa tahan dengan 7 tahun tanpa gelar ? Kenapa beberapa Juventini tetap setia walau sempat bermain di serie B ? Kenapa bobotoh persib tetap cinta mati dengan maung bandung saat mereka terancam degradasi ?

Saat West Ham tertinggal 6-0 dari Manchester City fansnya menyanyikan yel-yel yang berbunyi “ LET’S PRETEND WE SCORED A GOAL ! “ , bernada menjelek-jelekkan diri sendiri, West Ham dengan pendukungnya yang sangat fanatik. Kenapa ini bisa terjadi ? Masochist ! ( Masochism ). Hidup untuk menderita. Well, akui sajalah memang beberapa orang sangat suka untuk disakiti atau diejek-ejek. Bahasa simpelnya beberapa orang memang suka untuk galau dan merasa bersedih, beberapa orang menemukan kepuasan tersendiri saat mereka bersedih. Menariknya dalam sepakbola sedih, galau dan tersiksanya mereka saat timnya tidak juara atau kalah dengan mengenaskan itu tidak akan berpengaruh banyak kepadanya, toh setelah timnya kalah kehidupannya tetap begitu saja dan karirnya pun tidak terpengaruh. Sebuah cara yang aman untuk bersedih dan menghilangkan kebosanan akan hidup yang terlalu datar. Bisa survive dari rasa sakit dan sedih itu menjadi pencapaian hebat bagi beberapa pribadi.

Tidak setuju ? Memang tidak semuanya....

Pada intinya sepakbola memberikan harapan tanpa harus menanggung risiko bila harapannya tersebut tidak tercapai. Pernah dengar beberapa fans klub bola berteriak “ Next year is our year !! “ walau timnya sedang terpuruk mereka tetap berteriak dengan penuh harapan bahwa timnya bisa juara di musim depan, beberapa diantara mereka bertahan lebih dari 5 tahun dengan meneriakkan kata yang sama tiap tahunnya. Saat timnya kalah dan tidak menjadi juara, siapa yang bertanggung jawab ? bukan fans, tapi manager dan pemainlah yang dipecat. Ya, sepakbola menawarkan kekuasaan tanpa tanggung jawab tersendiri bagi beberapa orang, saat menang para fans merasa mereka turut serta membantu timnya juara dan saat kalah mereka menyalahkan pelatih dan para pemain. Pria terlalu banyak dibebani tanggung jawab dalam hidupnya, kapan lagi mereka bisa menggantungkan harapan dan bila gagal tidak harus menanggung risiko ?

Para pria mungkin sudah jenuh dengan rutinitasnya memenuhi tanggung jawab kehidupannya sebagai pria dewasa dan beberapa penelitian membuktikan bahwa menonton sepakbola menjadi pelarian terbaik untuk mereka apalagi bila dilakukan bersama-sama dengan temannya, secara tidak sadar para pria menikmati waktu-waktunya seperti saat mereka masih anak-anak/remaja, bercanda tawa tanpa beban, melepaskan semuanya pada 90 menit pertandingan.



Sepakbola juga bisa menjadi pelarian para pria dari wanitanya, kami para pria tahu bahwa sangat sedikit wanita yang suka sepak bola, menikmati beberapa menit tanpa interupsi dari pasangannya karena setiap pria membutuhkan waktu khusus. Pria tetap bisa menjadi pria seperti aslinya yang sering bertindak bodoh tanpa logika saat menjadi fans sepak bola.

Jadi pilih mana ? Pria yang mencari pelarian ke wanita lain atau sepak bola...


Tunggu postingan saya berikutnya masih seputar men’s behavior terhadap sepak bola, riset kualitatif dulu yaa....

Ini rekomendasi dari saya sebuah film yang sangat menarik yang menggambarkan kehidupan fans sepak bola. ( Lumayan looh buat yang lagi tes IELTS atau TOEFL sekalian latihan listening akses british )